Singapura: Perbankan di Masa Depan
19 Desember, 2017
Singapura telah berkembang pesat menjadi pusat inovasi global. Setelah pertumbuhan pesat selama bertahun-tahun, perekonomian negara tersebut melambat baru-baru ini karena populasi yang menua (aging population) dan pertumbuhan produktivitas rendah. Sebagai respon atas kondisi tersebut, negara ini merangkul ekonomi digital. Pemerintah melihat kemajuan otomasi dan teknologi keuangan (financial technologies)—yang dikenal sebagai fintech—bukan sebagai disrupsi/gangguan, namun sebagai peluang untuk meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan dan meningkatkan keterampilan dan kesempatan kerja bagi warganya.
Kami baru-baru ini berbicara dengan Direktur Pelaksana Otoritas Keuangan Singapura, Ravi Menon, tentang masa depan pekerjaan dan perbankan di Asia Tenggara, serta prospek fintech, termasuk ATM bitcoin dan penggalangan dana (crowdfunding).
Seiring Singapura bersiap untuk memimpin Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 2018, apa yang pemerintah Anda harapkan untuk dicapai untuk negara dan wilayah ini?
Filipina telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik sebagai ketua ASEAN, dan kami bermaksud membangun berdasarkan kemajuan yang telah dicapai tersebut pada tahun mendatang. Ke depan, akan ada kombinasi antara tema-tema lama, seperti meningkatkan produktivitas dan daya saing kawasan, serta tema-tema baru, seperti bagaimana mempersiapkan diri untuk ekonomi digital dan mempromosikan keuangan inklusif.
Untuk memastikan bahwa kami terus memperoleh pertumbuhan produktivitas dan keuntungan efisiensi yang baik, kami akan fokus pada penguatan dan peningkatan perdagangan daring (e-commerce) di seluruh kawasan dan peningkatan posisi ASEAN yang lebih baik sebagai tujuan investasi. Integrasi ekonomi dan keuangan telah menjadi tema utama bagi Asia Tenggara, dan kami akan terus menggunakan inovasi keuangan untuk mempromosikan keuangan inklusif. Misalnya, penduduk yang tinggal di kawasan pedesaan di negara-negara anggota, seperti Indonesia dan Filipina, tidak memiliki akses yang mudah terhadap layanan keuangan. Kita dapat melakukan upaya yang lebih baik untuk melakukan “lompatan besar” dengan meningkatkan peran perbankan dan perusahaan rintisan teknologi keuangan (fintech startups) untuk menyediakan akses tersebut dengan biaya lebih rendah kepada segmen penduduk yang kurang terjangkau oleh layanan perbankan (under-banked) dan layanan asuransi (under-insured).
Tahun ini, Global Innovation Index menempatkan Singapura sebagai ekonomi paling inovatif di Asia, dan ketujuh di dunia. Mengapa inovasi penting bagi pertumbuhan ekonomi?
Pemeringkatan tersebut memberi penghargaan kepada kami untuk infrastruktur yang baik—peraturan dan lingkungan bisnis yang baik, misalnya. Tapi kami masih memiliki beberapa kelemahan, seperti demografi yang menua (aging demographic) dan pasar domestik yang terbatas, yang sangat kami sadari. Untuk mengatasi hal ini, kami memiliki agenda penelitian dan pengembangan yang aktif untuk membantu menciptakan gagasan baru, peluang pertumbuhan, dan lapangan pekerjaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, kami juga telah mengkaji dengan saksama peraturan dan lingkungan bisnis agar lebih kondusif bagi inovasi, tanpa mengorbankan keamanan dan stabilitas. Misalnya, tahun lalu kami meluncurkan ruang kebijakan khusus (regulatory sandbox) di sektor keuangan, di mana perusahaan dapat menguji produk baru, teknologi, dan model bisnis mereka, di suatu lingkungan yang terkendali (controlled environment) di mana beberapa ketentuan hukum dan peraturan untuk sementara tidak diberlakukan.
Untuk membatasi potensi risiko, perusahaan-perusahaan yang ada pada “kotak pasir” (sandbox) ini dibatasi jumlah pelanggan yang dapat mereka layani. Begitu perusahaan sukses keluar dari “kotak pasir”, mereka akhirnya harus mulai memenuhi persyaratan regulasi standar sebelum mereka dapat menawarkan produk mereka kepada masyarakat umum. Ini adalah cara untuk menjadi lebih inovatif, dan untuk dapat lebih menerima kegagalan, tanpa menyebabkan gangguan dalam skala besar.
Menurut Anda, apakah inovasi membantu mengatasi atau memperburuk kesenjangan? Atau keduanya?
Memang, kurangnya inovasi tidak akan membantu mengatasi kesenjangan. Seiring dengan maraknya inovasi muncul permintaan baru akan keterampilan dan faktor produksi tertentu, sementara bidang-bidang lainnya mengalami disrupsi. Kedua hal itu terjadi pada saat bersamaan. Hal yang penting adalah bahwa pemerintah terus membekali angkatan kerja untuk lebih siap menghadapi disrupsi ini dengan lebih baik.
Di Singapura, sistem pendidikan, yang telah sangat membantu kami dalam menyediakan keterampilan dasar untuk memasuki angkatan kerja, menjadi semakin kurang relevan jika dibandingkan dengan pesatnya perubahan teknologi di dunia kerja. Dengan demikian, kami telah menerapkan program pembekalan-kembali keterampilan secara berkesinambungan, seperti SkillsFuture, di mana pemerintah memberikan subsidi pelatihan dan program konversi profesional untuk lebih mempersiapkan angkatan kerja kita dengan keterampilan yang kompetitif sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan yang terus mengalami perkembangan.
Selama Pertemuan Tahunan Bank Dunia-IMF, Anda berpartisipasi dalam diskusi panel mengenai tantangan fintech. Bagaimana Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore-MAS) memastikan bahwa pertumbuhan fintech yang cepat tidak menjadi risiko terhadap stabilitas keuangan?
Kami perlu mengambil pendekatan untuk tidak terburu-buru mengatur fintech terlalu ketat, namun mendorong inovasi berkembang. Namun, kita perlu tetap mengawasi dengan saksama dan memahami apa yang sedang terjadi, sehingga kami dapat cepat bergerak jika terdapat kebutuhan untuk mengaturnya.
Kuncinya adalah mengidentifikasi risiko apa yang mungkin terjadi dalam aktivitas fintech ini, dan kemudian merancang regulasi supaya kadarnya sesuai dan tidak mematikan inovasi. Sebagai contoh, misalnya, kita tidak menerbitkan regulasi terkait bitcoins secara harfiah. Terdapat beberapa perusahaan perantara untuk bitcoin di Singapura, dan mesin ATM bitcoin. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena masyarakat terbiasa menggunakan berbagai sarana sebagai alat tukar.
Tapi beberapa kegiatan seputar bitcoins mengandung risiko. Misalnya, perantara bitcoin perlu memperhatikan risiko pencucian uang dan pendanaan teroris. Dengan demikian, kami menerapkan ketentuan-ketentuan anti pencucian uang/pemberantasan pendanaan terorisme (Anti Money Laundering/Combating the Financing of Terorism - AML/CFT) terhadap para perantara tersebut. Contoh lainnya adalah penggalangan dana (crowd-funding). Anda dapat mendonasikan uang kepada suatu perusahaan rintisan (start-up) melalui platform penggalangan dana (crowd-funding), tapi jika perusahaan rintisan tersebut menjanjikan akan mengembalikan uang atau suatu imbal hasil yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan, maka perusahaan tersebut pada dasarnya menjual sekuritas dan jika demikian halnya maka kegiatan tersebut telah diatur regulasi. Kami memantau perkembangan ini secara saksama dan ingin memastikan bahwa kami mendukung inovasi sekaligus tetap menjaga agar risiko tidak meluas.
Ke depan, bagaimana Anda melihat perkembangan kerja sama antara IMF dan negara-negara anggota kami di ASEAN berkembang?
Kami sangat senang dengan tingkat kerjasama yang ada saat ini, terutama dengan IMF-Singapore Training Institute, yang menyelenggarakan program-program untuk membekali para pembuat kebijakan dalam menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi makro dan regulasi bidang keuangan. Permintaan akan senantiasi ada untuk pengembangan kapasitas di Asia-Pasifik.
Salah satu bidang yang menurut saya IMF bisa semakin berperan membantu beberapa negara-negara yang perkembangan pembangunannya lebih rendah di kawasan ini adalah dalam bidang keamanan siber (cyber security) dan manajemen risiko siber (cyber risk management). Ini adalah area yang baru berkembang, di mana banyak regulator bidang keuangan dan pembuat kebijakan baru belajar untuk memahami bagaimana membangun sistem dan kemampuan mereka untuk dapat memberikan perlindungan konsumen dengan lebih baik. Negara-negara tersebut akan memperoleh manfaat dari IMF yang bertindak sebagai “clearing house” (lembaga pengumpul dan pendistribusi) berbagai kemampuan dengan menyatukan berbagai keahlian untuk membantu mereka mengelola tantangan-tantangan baru ini.